
Makin banyak saja kesenian tradisional di Jepara yang terancam punah. Akibat tidak berjalannya proses regenerasi, kesenian tradisonal kentrung juga mengalami ancaman itu. Para seniman kentrung sendiri bahkan tak yakin sampai kapan kesenian bisa bertahan.
“Mungkin setelah kami tak akan ada lagi,” kata Karisan, seniman kentrung warga RT 02 RW I, Desa Ngasem, Kecamatan Batealit. Pria yang tak tahu pasti berapa usianya mengatakan, regenerasi memang persoalan yang paling mendasar dalam upaya pelestarian kentrung. “Bagaimana mungkin bisa mewariskan seni ini kalau anak-anak saya saja tak mau meneruskannya,” lanjut Karisan.
Memiliki dua putra dan dua putri, Karisan tak bisa memaksa mereka melanjutkan kesenian ini. “Katanya malu,” lanjut Karisan menirukan anak-anaknya.
Karisan mewarisi darah seni ini dari almarhum ayahnya, Sumo Sukir. Pengalaman Karisan sama persis dengan yang dialami kakak sepupunya, Parmo (65). Ayah dua anak ini juga mendapatkan darah kentrung dari almarhum ayahnya, Subani, “Tapi kedua anak saya juga tak mau melanjutkan kesenian kentrung,” kata Parmo lagi. Almarhum Subani dan Sumo Sukir, adalah kakak beradik yang pada masanya menjadi seniman kentrung ternama di Jepara.
Meski sama-sama terlahir di Ngasem, Parmo kini tinggal di Desa Ngabul, Kecamatan Tahunan. “Katut babon,” kata Parmo dalam bahasa Jawa, mengenai alasan kepindahannya ke Ngabul.
Lama menggeluti seni kentrung, menjadikan mereka tahu benar bagaimana eksistensi kesenian ini di Jepara. “Dulu tak terhitung berapa jumlah seniman kentrung di Jepara. Tapi undangan manggung juga banyak,” kata Karisan. Kini, mereka hanya pentas sekitar tujuh kali per bulan, karena seni ini tergeser hiburan baru yang oleh masyarakat dianggap lebih modern. “Itupun pada bulan-bulan tertentu, saat banyak orang punya kerja,” tambah Parmo, saat diwawancarai Kamis malam (17/12) di radio kartini FM Jepara.
Saat itu, Parmo dan Karisan memang “ditanggap” pengelola radio berfrekwensi 94,2 FM. Tampil dari jam 21.00 WIB, menjelang tengah malam jumlah pementas menjadi tiga orang, setelah Khumaidi (55), menyusul pentas dengan sukarela. Khumaidi adalah senian kentrung lainnya yang tinggal di Desa Bawu, Kecamatan Batealit.
“Seniman kentrung di Jepara, ya, tinggal kami ini,” kata Karisan di tengah pentas pada malam tahun baru Islam, 1431 H.Kepala Studio Radio Kartini FM, Drs. Hadi Priyanto, MM mengatakan, pentas kentrung semalam suntuk adalah agenda rutin lembaganya setiap tahun baru hijriyah. “Jika seni ini yang kami pilih, tentu saja dengan pertimbangan ancaman akan hilangnya kentrung,” katanya. Kethoprak dan wayang orang, juga disebutnya semakin sedikit, meski tak separah kentrung.
Sebagai kesenian yang makin langka, pentas kentrung mendapat sambutan hangat dari para penggemarnya yang sudah rindu dengan kesenian ini. Meski disiarkan langsung oleh radio Kartini FM, puluhan orang setia menyaksikan pementasan di halan studio hingga selesainya pentas.
“Kentrung Sumo Sukir dulu sangat terkenal di kampung saya. Pentas anaknya sudah cukup untuk mengobati kerinduan pada seni ini,” kata Soekat (67), warga Lebak Kecamatan Pakisaji yang setia menyaksikan pentas.
“Semoga kekhawatiran hilangnya kentrung tak terjadi,” kata Sudarto, warga Kelurahan Panggang, yang duduk bersebelahan dengan Suwarno, warag Desa Krapyak.
Seni kentrung sendiri syarat muatan ajaran kearifan lokal. Dalam pementasannya, seorang seniman menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan. Joke-joke segar sering diselipkan di tengah-tengah pakem, tetap dengan parikan yang seolah di luar kepala. Parikan berirama ini dilantunkan dengan iringan dua buah rebana yang ditabuh sendiri.
Beberapa lakon yang dipentaskan di antaranya Amat Muhammad, Anglingdarma, Joharmanik, Juharsah, Mursodo Maling, dan Jalak Mas.