وَالْيَا اذا مَا ثُنِّيَا لَاتُثْبِتِ
وَالنُّوْنُ إِنْ تُشْدَدْفَلَا مَلَامَه
وَبَعْضُهُمْ بِالْوَاوِ رَفْعًا نَطَقَا
واللاءِ كَالَّذِيْنَ نَزْرًا وَقَعَا
مَوْصُوْلُ الاسماءِ الَّذِي الْأُنْثَى الَّتِي
بَلْ مَا تَلِيْهِ أَوْلِهِ الْعَلَامَه
جَمْعُ الَّذِي اْلأُلَى الَّذِيْنَ مُطْلَقَا
بِاللاتِ وَاللاءِ اَّلتِي قَدْ جُمِعَا
Isim
maushul ialah lafadz Alladzii dan untuk untsa Allatii. Dan untuk huruf ya,
apabila di-mutsanna-kan, kedudukannya tidak tetap. Akan tetapi, kepada
huruf yang menggantinya berilah alamat i’rob. Dan huruf nun bila di-tasydid-kan
tidaklah mengapa.
Jamak Alladzii ialah al-ulaa, alladziina
secara mutlak. Sebagian di antara ilmu nahwu mengucapkannya dengan memakai wawu
dalam keadaan rafa’.
Dengan memakai lafadz Allatii dan
Allaa-i, lafadz Allatii di-jamak-kan. Lafadz Alla-i yang disamakan seperti lafadz
Alladziina jarang terjadi
Maushul
itu dibagi menjadi dua macam yaitu maushul isim dan maushul huruf,
dan pengarang tidak menyebutkan maushul-maushul huruf yang berjumlah
lima huruf yaitu : أَنْ, أَنَّ, كَيْ,
مَا, لَوْ
Dan tanda-tanda maushul
huruf yaitu kedudukannya boleh diganti masdar seperti contoh :
وَدِدْتُ
لَوْتَقُوْمُ Aku suka seandainya kamu berdiri
Dapat pula dikatakan : وَدِدْتُ
قِيَامَكَ
عَجِبْتُ مِمَّا تَصْنَعُ Aku
heran atas perbuatanmu
جِئْتُ لِكَيْ أَقْرَأَ
Aku
datang untuk belajar
يُعْجِبُنِي أَنَّكَ
قَائِمٌ Aku
heran bahwa kamu dapat berdiri
أُرِيْدُ أَنْ تَقُوْمَ Aku
ingin kamu berdiri
Dan maushul isim terbagi
menjadi dua macam yaitu:
1.
Maushul Khas
Ø Yaitu isim maushul yang menggunakan
lafadz-lafadz maushul (الَّذِي,الَّتِي )
2.
Maushul Musytarak
Ø Yaitu Yaitu isim maushul yang menggunakan
lafadz umum sesuai yang dikehendaki, (مَنْ,
مَا, أَلْ, ذُوْ, ذَا, أَيُّ )
1.
Lafadz-lafadz Khas. :
v
الَّذِي
untuk mufrad mudzakkar
v
الَّتِي untuk mufradah muannatsah
Apabila di-tasniyyah-kan,
gugurkanlah huruf ya-nya, dan datangkanlah alif dalam keadaan rofa’
maka menjadi lafadzاللَّذَانِ
dan اللَّتَانِ , dan ya dalam
keadaan jer dan nashab menjadi lafadzاللَّذِيْنَ
dan اللَّتِيْنَ. Dan jika
menghendaki men-tasydid-kan nun sebagai pengganti dari ya yang
dibuang,maka boleh mengatakan اللَّذَانِّ dan اللَّتَانِّ . Contohnya adalah
firman Allah SWT sebagai berikut:
وَاللَّذَانِّ
يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ
Dan terhadap dua orang yang melakukan
perbuatan keji di antara kalian. (Q.S
An-Nisa : 16)
v Dan dikatakan untuk jamak mudzakkar
lafadz “الأُلَى”
secara mutlak, baik untuk yang berakal atau yang tidak berakal contoh
جَاءَنِي
الأُلَى فَعَلُوْا Telah datang kepadaku
mereka yang telah berbuat
Dan
terkadang lafadz “الأُلَى” digunakan
dalam jamak muannats, dan terkadang keduanya berkumpul seperti dalam
ucapan penyair.
وَتُبْلِي
الْأُلَى يَسْتَلْئِمُوْنَ عَلَى الْأُلَى
# تَرَاهُنَّ يَوْمَ الرَّوْعِ كَالْحِدَإِ الْقُبْلِ
Mereka yang memakai baju besi dan yang
menunggang kuda itu telah tiada (mati), kamu lihat mereka dalam
peperangan sangat cepat lagi ringan bagaikan burung gagak.
v Dan dikatakan untuk jamak mudzakkar
yang berakal memakai lafadz اللذين secara
mutlak, baik dalam keadaan rofa’, nashab, dan jer. Contohnya:
جَاءَنِي الَّذِيْنَ
أَكْرَمُوْا زَيْدًا Telah datang kepadaku mereka yang
telah menghormati Zaid.
وَرَأَيْتُ
الَّذِيْنَ أَكْرَمُوْهُ Aku telah melihat
mereka yang telah menghormatinya.
مَرَرْتُ بِالَّذِيْنَ
أَكْرَمُوْهُ Aku
telah berjumpa dengan mereka yang telah menghormatinya.
Dan sebagian orang Arab mengatakan “الَّذُوْنَ”
dalam keadaan rofa’ dan “الَّذِيْنَ”
dalam keadaan nashab dan jer, dan mereka itu orang-orang Bani
Hudzail, dan contohnya dalam ungkapan penyair :
نَحْنُ
الَّذُوْنَ صَبَّحُوْا الصَّبَاحَا # يَوْمَ النُّخَيْلِ غَارَةً مِلْحَاحَا
Kami
adalah orang-orang yang mengadakan serangan fajar, yaitu pada perang Nukhail
dengan serangan sangat gencar.
v Dan dikatakan dalam jamak muannats
lafadz “اللَاتِ”
dan “اللَاءِ”
dengan membuang ya, maka dapat diucapkan :
جَاءَنِي
اللَاتِ فَعَلْنَ, وَاللَاءِ فَعَلْنَ Telah
datang kepadaku mereka yang telah berbuat dan mereka yang telah melakukan.
Dan dalam hal ini boleh menetapkan ya,
dapat dikatakan اللَاتِي dan
اللَائِي. Dan lafadz اللَاءِ disebutkan dengan
makna اللَّذِيَنَ, seperti yang terdapat dalam perkataan penyair :
فَمَا
آبَاؤُنَا بِأَمَنَّ مِنْهُ # عَلَيْنَا اللَاءِ قَدْ مَهَدُوْا الْحُجُوْرَا
Tiadalah bapak-bapak
kami, yaitu mereka yang telah memelihara kami dalam asuhannya, lebih banyak anugerahnya
daripada dia atas kami.
Maushul
Musytarak
وَمَنْ وَمَا
وَأَلْ تُسَاوِي مَا ذُكِر وَهَكَذَا
ذُو عِنْدَ طَيِّئٍ شُهِر
Man
dan maa serta al sama dengan ketentuan yang telah disebutkan, demikian pula
lafadz dzu menurut orang thayyi telah terkenal.
2.
Lafadz-lafadz
Musytarak (مَنْ,
مَا, أَلْ, ذُوْ, ذَا, أَيُّ)
Diisyaratkan
dengan perkataan pengarang (تُسَاوِي
مَا ذُكِرَ)
pada lafadz
مَنْ,
وَمَا, وَالْأَلِف, وَاللَام digunakan dalam bentuk salah satu lafadz untuk
mudzakkar
dan muannats, baik mufrad, mutsanna, dan jamak,
maka dapat diucapkan :
جَاءَنِي مَنْ قَامَ Telah
datang kepadaku seorang (laki-laki) yang telah berdiri.
جَاءَنِي مَنْ قَامَتْ Telah datang
kepadaku seorang (perempuan) yang telah berdiri.
جَاءَنيِ مَنْ قَامَا Telah
datang kepadaku dua orang (laki-laki) yang telah berdiri.
جَاءَنِي مَنْ قَامَتَا Telah datang
kepadaku dua orang (perempuan) yang telah berdiri.
جَاءَنِي مَنْ قَامُوْا Telah datang
kepadaku orang-orang (laki-laki) yang telah berdiri.
جَاءَنِي مَنْ قُمْنَ Telah datang
kepadaku orang-orang (perempuan) yang berdiri.
أَعْجِبَنِي مَا رُكِبَ
Amat
menakjubkanku kendaraan yang dinaikinya (laki-laki).
أَعْجِبَنِي مَا رُكِبَتْ Amat
menakjubkanku kendaraan
yang dinaikinya (perempuan).
أَعْجِبَنِي
مَا رُكِبَا Amat
menakjubkanku kendaraan
yang dinaiki mereka berdua (laki-laki)
أَعْجِبَنِي
مَا رُكِبَتَا Amat
menakjubkanku kendaraan
yang dinaiki mereka berdua (perempuan).
أَعْجِبَنِيْ
مَا رَكِبُوْا Amat
menakjubkanku kendaraan
yang dinaiki mereka (laki-laki).
أَعْجِبَنِي مَا رُكِبْنَ Amat
menakjubkanku kendaraan
yang dinaiki mereka (perempuan).
جَاءَنِي الْقَائِمُ Telah
datang kepadaku orang (laki-laki) yang berdiri itu.
جَاءَنِي الْقَائِمَةُ Telah
datang kepadaku orang
(perempuan) yang berdiri itu.
جَاءَنِي الْقَائِمَانِ Telah
datang kepadaku dua
orang (laki-laki) yang berdiri itu.
جَاءَنِي الْقَائِمَتَانِ Telah
datang kepadaku dua
orang (perempuan) yang berdiri itu.
جَاءَنِي الْقَائِمُوْنَ Telah
datang kepadaku mereka
(laki-laki) yang berdiri itu.
جَاءَنِي الْقَائِمَاتُ
Telah
datang kepad mereka (perempuan) yang berdiri itu.
v Lafadz “مَا”
banyak digunakan untuk menunjukkan makna yang tidak berakal, dan terkadang
digunakan untuk menunjukkan makna berakal, contohnya dalam firman Allah swt :
فَانْكِحُوْا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مُثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
Maka kawinilah perempuan-perempuan
(lain) yang kalian senangi, dua,
tiga, empat (Q.S An-Nisa : 3)
v Dan lafadz “مَنْ”
adalah kebalikan dari lafadz “مَا”,
yakni banyak digunakan
untuk menunjukkan makna yang berakal,
dan terkadang untuk menunjukkan makna yang tidak berakal seperti firman Allah
swt :
وَمِنْهُمْ مَنْ
يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللهُ مَا يَشَاءُ
Dan sebagian yang lain
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya.
Contoh lainnya dalam ungkapan penyair:
بَكَيْتُ
عَلَى سِرْبِ الْقَطَا إِذْ مَرَرْنَ بِي
# فَقُلْتُ وَمُثْلِي بِالْبُكَاءِ
جَدِيْرُ
أَسِرْبَ
الْقَطَا هَلْ مَنْ يُعِيْرُ جَنَاحَهُ
# لَعَلِّى إِلَى مَنْ قَدْ هَوِيْتُ
أَطِيْرُ
Aku menangis ketika melihat sekumpulan
burung qatha yang lewat di
atasku. Lalu aku berkata (kepada diriku
sendiri), “Orang yang seperti aku layak untuk menangis.
Hai, sekumpulan burung qatha, Apakah ada yang
mau meminjamkan sayapnya (kepadaku) agar aku dapat terbang menemui orang yang
aku cintai?”
v Dan adapun alif dan lam digunakan untuk menunjukkan makna yang
berakal dan yang tidak berakal, seperti contoh :
جَاءَنِي
الْقَائِمُ والمَرْكُوْبُ Telah
datang kepadaku orang yang berdiri itu dan kendaraan
(yang dinaiki)-nya.
Dan begitu juga jika
masuk pada sifat shariihah.
v Dan menurut lughah orang-orang Thayyi
lafadz dzu dipakai sebagai maushul, dan menunjukkan makna yang
berakal dan yang lainnya, dan menurut lughah yang terkenal dikalangan mereka,
penggunaan dzu ini dalam bentuk satu lafadz, baik mudzakkar, muannats,
baik mufrad, mutsanna, dan jamak, maka dapat dikatakan :
جَاءَنِي ذُوْ قَامَ Telah datang
kepadaku orang (laki-laki) yang berdiri
itu.
جَاءَنِي ذُوْ قَامَتْ
Telah datang kepadaku orang
(perempuan) yang berdiri itu.
جَاءَنِي ذُوْ قَامَا
Telah datang
kepadaku dua orang (laki-laki) yang berdiri itu.
جَاءَنِي ذُوْ قَامَتَا
Telah datang
kepadaku dua orang (perempuan) yang berdiri itu.
جَاءَنِي ذُوْ قَامُوْا
Telah datang
kepadaku mereka(laki-laki) yang berdiri itu.
جَاءَنِي ذُوْ قُمْنَ
Telah datang
kepadaku mereka (perempuan) yang berdiri itu.
وَمِثْلَ
مَا ذَا بَعْدَ مَا اسْتِفْهَامِ أَوْ مَنْ
إِذَا لَمْ تُلْغَ فِي الْكَلاَمِ
Seperti maa adalah dzaa
sesudah maa istifham, atau man, apabila maa dan man tidak ditiadakan (artinya)
dalam perbincangan.
Dimaksudkan
agar “ذَا” memiliki ciri tersendiri di antara isim-isim isyaroh lainnya, yaitu dapat
dipakai sebagai maushul, dengan demikian maka”ذَا” kedudukannya sama dengan “مَا”, yakni hanya dipakai satu bentuk lafadz, baik untuk mudzakar, muannats, mufrad,
mutsanna ataupun jamak.
Untuk itu dapat mengatakan:
مَنْ
ذَا عِنْدّكَ ؟ Siapakah
yang ada di sisimu?
مَا ذَا عِنْدّكَ ؟Apakah
yang ada di sisimu?
Contoh tersebut tidakmemandang apakah yang ada di
sisinya itu bersifat mufrad, mudzakar atau yang selainnya.
v
Syarat untuk menggunakan “ذَا” sebagai maushul adalah :
a. Lafaz “مَنْ” merupakan isim istifham yang berkedudukan
sebagai mubtada’, sedangakan “ذَا” adalah maushul yang bermakna “الَّذِي”, dan berkedudukan sebagai khabar dari “مَنْ”. Kemudian lafadz
جَاءَكَ menjadi shilah maushul.
Bentuk lengkapnya adalah: مَنِ الَّذِي جَاءَكَ ؟ (Siapakah orang yang datang
kepadamu?), demikian pula “مَا” menjadi mubtada’ dan “ذَا” yang menjadi maushul yang bermakna “الَّذِي”, menjadi khabar “مَا”, lafadz فَعَلْتُ,
menjadi shilah maushul, sedangkan dhamirnya dibuang. Bentuk
lengkapnya:
مَا
الَّذِي فَعَلْتَهُ ؟ Apa
yang sedang kamu lakukan itu ?
b. Tidak ditiadakan
dalam pembicaraan bila “مَا” dan “ذَا”, atau “مَنْ” dan “ذَا”, disertakan dalam satu kalimat yang bermakna istifham,
seperti contoh :
مَاذَا عِنْدَكَ؟
Apakah yang ada di sisimu?
artinya sama saja dengan lafadz
أَيُّ شَيْءٍ
عِنْدَكَ؟, demikian pula
lafadz
مَنْ ذَا عِنْدَكَ؟ Siapa yang ada di sisimu?
Dengan demikian lafadz “مَاذَا”
merupakan mubtada’ dan khabarnya adalah “عِنْدَكَ”,
begitu pula lafadz “مَنْ ذَا” menjadi menjadi mubtada’dan khabarnya
adalah “عِنْدَكَ”. Huruf “ذَا” dalam
kedua contoh tadi ditiadakan artinya, karena
dianggap sebagai
bagian dari suku kata yang apabila digabungkan menunjukkan makan istifham.
B. Ay Maushul (أيّ الموصولة)
أَيٌّ كَمَا وَأُعْرِبَتْ مَا لَمْ تُضَف وَصَدْرُ وَصْلِهَا ضَمِيْرُ انحَذِف
Ayyun sama
dengan maa yakni dimu’rabkam selagi tidak dimudhafkan, sedangkan shadr shilah
(permulaan penghubungnya) berupa dhamir yang dibuang.
Ketentuan bagaimana lafadz“ايّا” sama dengan ketentuan lafadz “ما” yaitu
disebutkan
dalam bentuk satu lafadz baik dalam bentuk mudzakar atau muannats,
maupun dalam bentuk mufrod, mutsanna atau jamak. Contoh :
يُعْجِبُنِي أّيُّهُمْ هُوَ قَائِمٌ
Aku kagum
terhadap siapapun yang bediri di antara mereka.
v
Lafadz “ايّا” mempuyai empat ketentuan, yaitu:
a. Lafadz “ايّا” boleh dimudhofkan, dan shadr shillahnya disebutkan.
Contoh:
يُعْجِبُنِي أّيُّهُمْ هُوَ قَائِمٌ Aku
kagum terhadap siapapun yang bediri di antara
mereka.
b. Lafadz “ايّا” tidak dimudhofkan, dan shadr shillahnya pun
tidak disebutkan. Contoh:
يُعْجِبُنِي أّيٌّ قَائِمٌ Aku
kagum terhadap siapapun yang bediri.
c. Lafadz “ايّا” boleh tidak dimudhofkan, dan shadr
sillahnya disebutkan. Contoh:
يُعْجِبُنِي أّيٌّ هُوَ قَائِمٌ Aku kagum terhadap siapapun yang bediri di antara
mereka.
Dalam tiga keadaan ini lafadz “ايّا”
bisa dii’robkan dengan tiga harakat yaitu dhammah (ُ), fathah (َ), dan kasroh (ِ)
seperti dalm contoh-contoh berikut:
يُعْجِبُنِي أّيُّهُمْ هُوَ قَائِمٌ
Aku kagum
terhadap siapapun yang bediri di antara mereka.
أّيَّهُمْ هُوَ قَائِمٌ رَأَيْتُ Aku telah
melihat siapa yang bediri di antara mereka.
بِأيِّهِمْ هُوَ قَائِمٌ مَرَرْتُ Aku
berjumpa dengan seseorang yang bediri di antara mereka.
يُعْجِبُنِي أّيٌّ قَائِمٌ Aku kagum terhadap seseorang yang bediri.
أّيًّا قَائِمٌ رَأَيْتُ Aku telah melihat seseorang yang berdiri.
بِأَيٍّ قَائِمٌ مَرَرْتُ Aku berjumpa dengan siapa ayng beridiri.
Juga
dapat dikatakan sebagai berikut:
يُعْجِبُنِي أّيٌّ هُوَ قَائِمٌ Aku
kagum terhadap seseorang yang bediri.
أّيًّا هُوَ قَائِمٌ رَأَيْتُ Aku telah
melihat seseorang yang bediri.
بِأَيُّهُمْ هُوَ قَائِمٌ مَرَرْتُ Aku berjumpa
dengan seseorang yang berdiri.
d. Lafadz “ايّا” dimudhofkan, dan shadr shillahnya pun tidak
disebutkan. Contoh:
يُعْجِبْنِي أّيُّهُمْ قَائِمٌ Aku kagum terhadap siapapun yang bediri di antara
mereka.
Dalam keadaan demikian dimabnikan atas harakat
dhammahnya.
Contoh:
يُعْجِبُنِي أّيُّهُمْ قَائِمٌ Aku kagum terhadap siapapun yang bediri dari mereka.
أّيُّهُمْ قَائِمٌ رَأَيْتُ Aku telah melihat siapa yang bediri di antara mereka.
بِأيُّهُمْ هُوَ قَائِمٌ مَرَرْتُ Aku berjumpa
dengan seseorang yang bediri di antara mereka.
Contoh lainnya adalah firman Allah :
ثُمَّ لَنَنْزِعَنَّ مِنْ كُلِّ شِيْعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَانِ
عِتيًّا
Kemudian
pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapa di antara mereka yang
sangat durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah.(QS. Maryam :69)
Contoh
lainnya dalam ungkapan seoarng penyair berikut:
إِذَا مالَقِيْتُ بَنِي ما لِكٍ فَسَلِّمَ عَلَيْهِمْ
عَلَى أَيُّهُمْ أَفْضَلُ
Apabila kamu berjumpa dengan Bani Malik, ucapkanlah salam kepada siapa di antara mereka
yang lebih utama.
C. Shilah Maushul(صلة الموصول)
وَكُلُّهَا يَلْزَمُ بَعْدَهُ صِلَه عَلَى ضَمِيْرٍ لَائِقٍ مُشْتَمِلَه
Kesemuanya melazimkan (memastikan) adanya shilah
sesudahnya, dan di dalamnya terkandung dhomir yang sesuai (dengan maushul)
Setelah
isim maushul wajib terdapat shilah yang menjelaskan maknanya. Dan
disyaratkan dalam shilahnya isim maushul
mengandung dhomir
(‘aaid) yang sesuai terhadap maushulnya.
Dengan kata lain, apabila maushul-nya mufrad, maka dhomir-nya
mufrad, apabila maushul-nya mudzakkar, maka dhomir-nya
mudzakkar, apabila maushul-nya selain dari keduanya, maka dhomir-nya
pun disesuaikan pula dengannya, seperti dalam contoh berikut ini :
جَاءَنِي الَّذِي عَرَفْتُهُ Telah
datang kepadaku orang yang kuketahui itu.
Demikian pula bila dalam bentuk mutsanna
dan jamak, seperti pada contoh berikut :
جَاءَنِي اللَّذَانِ عَرَفْتُهُمَا Telah
datang kepadaku dua orang yang kuketahui itu.
جَاءَنِي الَّذِيْنَ عَرَفْتُهُمْ Telah
datang kepadaku orang-orang yang kuketahui itu.
Dan begitu juga bila dalam bentuk muannats
contohnya :
جَاءَتِ الَّتِي عَرَفْتُهَا Telah
datang kepadaku perempuan yang kuketahui itu.
جَاءَتِ اللَّتَانِ عَرَفْتُهُمَا Telah datang kepadaku dua perempuan
yang kuketahui itu.
جَاءَتِ الَّاتِي عَرَفْتُهُنَّ Telah
datang kepadaku perempuan-perempuan yang kuketahui itu.
Terkadang
maushul terjadi pada bentuk
lafadz yang mufrad mudzakkar sedangkan maknanya mutsanna
atau jamak atau selainnya. Yang dimaksud adalah seperti lafadz man
dan maa apabila dipakai untuk tujuan selain dari mufrad mudzakkar,
maka dalam keadaan demikian diperbolehkan :
a.
Pengucapan
lafadz : وَهِيَ هِنْدٌ (أَعْجِبُنِي مَنْ قَامَ)
b.
Pengucapan
makna : (أَعْجِبُنِي مَنْ قَامَتْ, وَمَنْ قَامَا, وَمَنْ قَامَتَا,
وَمَنْ قَامُوْا, وَمَنْ قُمْنَ)
Lafadz
man di sini artinya disesuaikan dengan makna yang dimaksud.
وَ جُمْلَةٌ أَوْ شِبْهُهَا الَّذِي وُصِل بِهِ كَمَنْ عِنْدِي الَّذِي ابْنُهُ كُفِل
Jumlah
atau yang serupa dengannyalah yang dihubungkan kepadanya, seperti “Man ‘indil
ladzib nuhu kufil”(orang berada disisiku, orang yang anaknya mendapat jaminan).
v Shilah maushul
itu hanyalah dalam bentuk :
a.
Jumlah
b.
Syibhul
jumlah (serupa dengan jumlah). Yang dimaksud
adalah zharaf dan jar majrur, hal ini berlaku dalam ketentuan
selain shilah yang memakai alif dan lam.
v Syarat jumlah shilah :
Syarat
bagi shilah yang dalam bentuk jumlah itu ada tiga syarat :
a. Hendaknya shilah dalam bentuk khabariyyah
(kalimat berita)
b. Kalimatnya terbebas dari makna ta’ajjub
c. Tidak memerlukan kepada pembicaraan
sebelumnya
Dikecualikan
dari kalimat berita ialah bentuk-bentuk kalimat lainnya, yaitu kalimat thalabiyyah
dan kalimat insyaiyyah, maka tidak boleh mengucapkan :
جَاءَنِي الَّذِي لَيْتَهُ قَائِمٌ atau جَاءَنِي الَّذِي اضْرِبْهُ
Dikecualikan dari
pengertian “bebas dari makna ta’ajjub”, dari kalimat ta’ajjub
maka tidak boleh جَاءَنِي الَّذِي مَا أَحْسَنُهُ
sekalipun termasuk kategori kalimat khabariyyah
karena mengandung makna ta’ajjub.
Dikecualikan
dari pengertian “Tidak memerlukan pembicaraan sebelumnya” seperti جَاءَنِي الَّذِي لَكِنَّهُ قَائِمٌ, maka sesungguhnya
jumlah ini memberi pengertian bahwa ada jumlah lain sebelumnya,
contohnya :
مَا قَعَدَ زَيْدٌ لَكِنَّهُ قَائِمٌ Zaid tidak duduk, tetapi sedang
berdiri.
v Syarat shibhul jumlah :
Disyaratkan
bagi yang masuk ke dalam zharaf dan jar majrur itu hendaknya
dalam bentuk yang lengkap dan arti yang lengkap, maksudnya yaitu hendaknya
kalimat yang dihubungkan dengannya itu mengandung faedah, contoh seperti :
جَاءَنِي الَّذِي عِنْدَكَ Telah
datang kepadaku orang yang di sisimu itu.
جَاءَنِي الَّذِي فِي الدَّارِ Telah
datang kepadaku orang yang di dalam rumah itu.
yang
menjadi amil bagi keduanya ialah fi’il yang dibuang, dan bentuk
lengkapnya adalah :
جَاءَ الَّذِي اسْتِقَرَّ عِنْدَكَ Telah datang kepadaku orang
yang berada di sisimu itu.
جَاءَ الَّذِي اسْتِقَرَّ فِي الدَّارِ Telah
datang kepadaku orang yang tinggal di rumah itu.
Apabila
ternyata yang dihubungkan pada keduanya itu dalam bentuk yang tidak lengkap,
maka tidak boleh menghubungkan kalimat dengannya. Oleh sebab itu tidak boleh
mengatakan جَاءَ الَّذِي
بِكَ atau mengatakan جَاءَ الَّذِي الْيَوْمَ.
وَ صِفَةٌ
صَرِيْحَةٌ صِلَةُ أَلْ وَ كَوْنُهَا بِمُعْرَبَ
الْأَفْعَالِ قَلْ
Sifat
yang sharihah (jelas) menjadi shilahnya al, dan sedikit
sekali bila di-i’rabkan seperti i’rabnya fi’il.
Shilah
alif dan lam :
Alif
dan lam tidak dihubungkan selain kepada yang sifat sharihah (jelas). Pengarang
dalam kitab yang lain mengatakan, sifat sharihah yang dimaksud adalah isim
fa’il seperti
lafadz الضارب))
dan isim maf’ul seperti (المضروب) dan sifat musyabbihah seperti
lafadz (الحسن الوجه). Dikecualikan hal-hal
yang seperti dalam lafadz القرشى
dan
lafadz الأفضل.
Dan sedikit
menghubungkan alif dan lam kepada fi’il mudhari’. Hal ini
diisyaratkan dengan perkataan و كونها بمعرب الأفعال قل (dan
sedikit sekali dii’rabkan seperti i’rabnya fi’il), dan seperti
yang dikatakan oleh penyair :
مَا أَنْتَ
بِالْحَكَمِ التُّرْضى حُكُوْمَتُهُ وَلَا
الْأَصِلِ وَلَاذِي الرَّأْيِ وَالْجَدَلِ
Engkau
ini bukanlah hakim yang dianggap keputusannya, dan engkau bukan pula yang
berketurunan tinggi, dan bukan pula orang yang mempunyai pendapat, serta bukan
pula orang yang ahli dalam berdebat.